Selasa 16 Julai / 7 Ramadhan 1434H
(PETIKAN TULISAN SEORANG GURU BAHASA JEPUN DI INDONESIA)
Setiap anak dilahirkan memiliki keunikan tersendiri. Meski dilahirkan dari rahim yang sama pun, tidak ada anak yang memiliki karakter sama 100%. Jangan pernah memberikan label buruk para anak, ketika Ia tidak sesuai dengan harapan kita. “Anak nakal, cerewet, cengeng (kuat merajuk)…Dan lain sebagainya” Karena secara alam bawah sadar, anak yang diberi label negatif, akan memiliki kecenderungan ke arah label negatif tersebut.
Dan jangan pernah mencari pembenaran atas “dosa” diri dengan menyandingkan ayat-ayat Qur`an, seperti ini “Nabi Nuh juga anaknya ada yang durhaka…!” Pembenaran yang salah dalam mengkaji kesalahan diri dalam mendidik anak.
Mengenali hakikat karakter anak, perlu pula orangtua memahami bagaimana Allah SWT menjelaskan tentang kedudukan anak dalam firmannya.
- Anak sebagai perhiasan (QS 18:46)
- Anak permata hati (QS 25:74)
- Anak merupakan fitnah/ujian (QS 8:28)
- Anak sebagai musuh (QS 64:14)
Terpilih menjadi seorang “utusan” Allah, para orangtua seharusnya mampu mengubah musuh menjadi teman, ujian menjadi hiasan, permata hati menjadi penyejuk hati, dan perhiasan menjadi keindahan. Tidak hanya menginginkan anak shalih, tapi menjadikan lebih dahulu dirinya shalih.
Selain menjalankan peran sebagai “sang utusan”, orang tua pun harus mampu memegang peranan sebagai “salesman” dari setiap anak. Menggali potensi dan memikirkan agar anak-anak mampu memiliki “harga jual”. Hingga mendapat pujian tidak hanya dari penduduk bumi, tapi juga penduduk langit.
Ketika orangtua telah memahami perannya sebagai “sang utusan” juga seorang “salesman”, Ia akan mengembangkan teknik pendekatan pada anak-anak dengan cara:
1. Memanggil bukan memanggul (memaksa).
Seperti dalam QS Luqman, panggillah anak-anak dengan kata-kata lembut, seperti “Ya bunayya… Wahai anakku sayang…..”
Bukan kata-kata memberikan beban negatif. Mendidik anak adalah panggilan hati, bukan menjadi beban yang harus dipanggul.
2. Mengajak bukan mengejek.
Melakukan personal attending, mengundang anak pada saat yang tepat dengan ajakan berhikmah. Bukan mengejek ketidakmampuan anak hingga menekan perasaan.
3. Menyampaikan bukan menyimpulkan
Tugas orangtua sebagai sang utusan hanyalah menyampaikan kebenaran. Bukan menyimpulkan sendiri hasil yang telah ada dengan memberi label tidak baik pada anak “Ih dasar bodoh… dsb”
4. Mendidik bukan mendadak
Mencetak anak-anak shalih, pintar, cerdas perlu sebuah proses. Bukan mendadak seperti membalikkan telapak tangan. Jadikan diri sebagai mirroring yang mampu menjadi cermin bagi anak-anak. Menjadi contoh keteladanan keshalihan bagi anak.
5. Memuji bukan mencaci
Mengasuh anak adalah membentuk kebiasaan dan meninggalkan kenangan. Bila anak dibiasakan dengan penghargaan berupa pujian, mereka akan belajar menghargai. Sedang bila dibiasakan dengan mencaci, mereka akan belajar membenci.
Mari kita jadikan Ramadhan, sebagai momen bagi keluarga muslim di manapun juga agar terpacu membentuk “Becoming a Great Family”. Diawali dengan pemahaman bahwa orangtua adalah “sang utusan” dan “salesman”, Ia harus mampu mentransformasi indahnya shaum di bulan Ramadhan kepada anak-anak. Saling mempershalih diri antar ayah, ibu, putra, putri. Memperkuat jalinan ikatan keluarga dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan akan makna ibadah Ramadhan. Membuat program-program bersama antara orangtua dan anak, agar membuat Ramadhan lebih bermakna dan menyenangkan.
Ramadhan adalah masa upgrading “Becoming A Great Family” yang petunjuknya langsung datang dari Allah. Peningkatan ibadah orangtua, perlu diikuti dengan peningkatan ibadah anak. Keshalihan orangtua harus terpola pada keshalihan anak-anak. Bakti orangtua, akan menjadi cerminan bakti anak.
No comments:
Post a Comment